Minggu, 26 April 2009

Posyandu..posyandu.....

Sebulan sekali biasanya kegiatan posyandu diadakan di kampung atau kelurahan. Kegiatan yang rutin di lakukan adalah penimbangan balita dan pemberian makanan tambahan. Didirikannya posyandu memang sangat bermanfaat terutama bagi balita untuk memonitor perkembangan gizi balita, tidak hanya bagi daerah-daerah yang kurang terjangkau oleh fasilitas kesehatan yang memadai tetapi bagi masyarakat miskin baik di kota maupun didesa yang sulit untuk mengakses kesehatan. Namun demikian, kegiatan posyandu di berbagai tempat hanya terpaku pada penimbangan bayi dan pemberian makanan tambahan, Sehingga kurang dimaksimalkan menjadi suatu pos kesehatan yang bisa diakses tidak hanya oleh balita tetapi juga oleh orang yang membutuhkan akses kesehatan secara murah. Padahal seharusnya posyandu tidak hanya berfungsi sebagai tempat penimbangan balita tetapi lebih dari poyandu juga seharusnya bisa melayani imunisasi, KB serta melayani orang yang sakit.

Di tempat saya tinggal yang notabene di daerah perumahan dengan tingkat kesadaran terhadap kesehatan cukup tinggi, kegiatan posyandu juga masih terpaku pada penimbangan dan pemberian makanan tambahan bagi balita. Meskipun pelayanan kesehatan sudah sangat bisa diakses oleh warga perumahan, tetapi sebenarnya penting juga dilakukan posyandu semacam obrolan dan komunikasi dari para kader posyandu dengan para ibu-ibu seputar kesehatan, imunisasi, Kb dan lain sebagainya, karena sebagaimana di ketahui persoalan kesehatan selalu saja berkembang.

Persoalan makanan tambahan bagi balita juga menjadi persoalan yang cukup penting bagi saya. Bagaimana tidak, terkadang makanan yang diberikan kepada balita adalah makanan instant seperti wafer, susu kotak dengan berbagai macam rasa dan lain sebagainya. Sebaliknya jarang sekali buah-buahan diberikan sebagai makanan tambahan, padahal buah-buahan selain murah juga jelas mengandung gizi yang tinggi.

Memang paradigma berfikir masyarakat kita saat ini selain sudah salah kaprah, juga serba instant. Sehingga untuk merubah kembali mind set tentang makanan sehat memang butuh waktu. Pemberian makanan seperti wafer sudah dianggap sebagai makanan yang bergizi karena dianggap terbuat dari susu, padahal jelas didalamnya banyak campuran bahan yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh tubuh, apalagi untuk balita. Makanan tradisional yang sebenarnya lebih bergizi tidak lagi dilirik karena kalah gengsi dan mulai banyak tidak disukai anak-anak. Lembaga-lembaga medis serta jajarannya berikut yang terkait dengannya, seharusnya mempunyai pandangan yang sudah lebih maju tentang makanan sehat. Seringkali makanan sehat yang diasumsikan adalah makanan yang mengandung susu seperti roti, biscuit dan turunannya. Bukan makanan segar dan alami. Dengan demikian, pemberian makanan tambahan bagi balita di posyandu dengan memberikan wafer dan susu beraneka rasa, secara tidak langsung telah mengajarkan kepada masyarakat bahwa makanan tersebut adalah makanan yang kaya gizi dan baik dikonsumsi oleh siapapun termasuk balita. Padahal susu sapi saat ini telah disadari sebagai penyebab banyaknya problem bagi balita, sehigga gerakan kembali ke ASI kembali didengungkan dimana-mana. Selain itu, makanan-makanan instant yang membanjiri pasar Indonesia juga jelas-jelas banyak mengandung bahan kimia yang tidak baik bagi tubuh. Artinya, selama pemahaman tentang makanan sehat seperti itu, maka jangan heran jika generasi Indonesia yang akan datang menjadi generasi yang tidak sehat dan tentu saja berdampak pada kurangnya kualitas diri mereka.

MENGAKTIFKAN KEMBALI POSYANDU

Persoalan gizi buruk serta kematian ibu dan atau bayi saat melahirkan adalah salah satu persoalan yang senantiasa kerap menyelimuti bangsa kita. Rendahnya akses terhadapa lembaga kesehatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di daerah-daerah terpencil adalah salah satu penyebab utama munculnya persoalan tersebut. Di samping itu, tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi namun tanpa dibarengi dengan kesejahteraan hidup yang merata juga menjadi penyebab tidak langsung bagi terjadinya kasus gizi buruk anak. Karena itu, pemerintah meletakkan masalah kesehatan ibu dan anak ini sebagai masalah yang perlu penyelesaian secara serius.

Salah satu upaya serius pemerintah untuk mengurangi angka kematian bayi dan kasus gizi buruk ini adalah dengan pembentukan apa yang kemudian dikenal dengan POSYANDU (Pos Pelayanan Terpadu). Posyandu ini pertama kali dibentuk oleh pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto pada tahun 1984. Visi dan misi pembentukan Posyandu ini adalah sebagai perwujudan peran serta masyarakat dalam mencapai pelayanan kesehatan yang lebih baik. Namun secara khusus, pembentukan Posyandu bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi, menurunkan angka gizi buruk balita dan anak, serta mempermudah pelayanan KB (keluarga berencana). Dengan demikian, sasaran utama dari kegiatan Posyandu ini adalah masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil dan pedesaan, khususnya kaum perempuan dan anak, dimana akses terhadap lembaga kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit masih sangat minim.

Oleh karena itu, banyak masyarakat yang merasakan manfaat nyata dari kegiatan posyandu ini. Karena melalui kegiatan posyandu ini, banyak masyarakat di daerah terpencil yang sebelumnya tidak bisa mengakses dan menjangkau lembaga kesehatan akhirnya bisa dengan mudah mendapatkan pelayanan kesehatan. Begitu pula bagi perkembangan kesehatan ibu-ibu hamil dan balita akhirnya bisa dimonitor secara berkala oleh petugas-petugas kesehatan yang sudah diberi kewenangan.

Namun seiring berjalannya waktu, kegiatan posyandu yang awalnya begitu aktif digelar di kampung-kampung itu akhirnya juga lapuk dimakan usia. Entah mengapa kegiatan yang begitu kaya manfaat itu akhirnya juga harus mati suri. Namun palig tidak, dugaan sementara yang muncul, bahwa kegiatan posyandu mengalami penurunan karena terpengaruhi oleh situasi politik pasca lengsernya Suharto pada tahun 1998. karena sebagaimana kita ketahui, ketika reformasi bergulir, segala yang berbau orde baru pun ikut dianulir, termasuk di dalamnya posyandu.

Selain facktor huru-hara politik tersebut, nampaknya era otonomi daerah juga menjadi salah satu pemicu penurunan aktifitas posyandu. Sebagaimana kita ketahui bahwa otonomi daerah telah mensaratkan dilakukanya desentralisasi, termasuk di dalamnya desentralisasi dalam bidang pelayanan kesehatan. Sehingga akibatnya, kebijakan pelayanan kesehatan kini sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sedangkan kemampuan dan kesadaran masing-masing pemerintahan daerah terhadap pelayanan kesehatan, termasuk dalam masalah posyandu tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini kemudian berakibat kepada tingkat porsentase di anggaran daerah (APBD) dalam masalah pelayanan kesehatan. Bila suatu daerah menganggarkan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya cukup rendah, bahkan tidak ada klausul posyandu, maka dengan begitu kegitan posyandu di daerah tersebut akan menurun. Namun begitu juga sebaliknya, bila suatu daerah menganggarkan aspek pelayanan kesehatan cukup tinggi ditambah dengan secara tegas menyebutkan program posyandu, maka kegiatan posyandu di daerah tersebut akan meningkat. Namun secara umum, pemerintah-pemerintah daerah nampaknya kurang memberi perhatian yang serius dalam masalah kesehatan ini, sehingga dalam kurun waktu pasca reformasi ini kegiatan posyandu nampak kurang bergairah.

Perlu Kerja Keras

Melihat kecenderungan pemerintah daerah yang kurang mempriorotaskan sektor kesehatan ini, pada tahun 1999 pemerintah lalu kembali berupaya menggalakkan posyandu dengan melakukan revitalisasi posyandu guna mempertahankan keberadaan posyandu. Meskipun revitalisasi posyandu telah dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi masih belum dapat dengan segera mengatasi bubarnya posyandu di daerah-daerah. Akibatnya, angka gizi buruk balita meningkat dimana-mana, penyakit polio juga merebak di beberapa daerah, sehingga pemerintah merasa “kecolongan” karena sebelumnya Indonesia sudah menyandang predikat Negara bebas polio pada zaman presiden Soeharto. Semua itu terjadi tentunya sebagai dampak menurunnya jumlah dan fungsi posyandu karena tidak ada lagi lembaga yang memonitor dan mengontrol kesehatan masyarakat terutama balita.

Fenomena inilah yang kemudian menjadi kegelisahan seorang praktisi kesehatan yang bernama Siti Fadillah Supari. Beliau selama ini memang sudah dikenal sebagai orang yang bekerja keras mendedikasikan hidupnya untuk kesehatan masyarakat Indonesia. Maka tak heran begitu beliau ditunjuk oleh Presiden Susilo bambang Yudayono sebagai menteri kesetahan RI, maka dengan cukup sigap beliau mengaktifkan kembali Posyandu. Kini semenjak Siti Fadilah Supari menjabat sebagai menteri kesehatan, gerakan posyandu dirasakan semakin meningkat, tidak hanya secara kuantitas tapi juga kualitas. Hal ini bisa dilihat dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, peran posyadu di daerah-daerah terlihat semakin menggeliat, terbukti dengan tingkat derajat kesehatan dan status gizi masyarakat yang semakin membaik di beberapa daerah yang sebelumnya banyak dikenal sebagai daerah miskin dengan tingkat gizi buruk masyarakat yang tinggi, seperti contoh di daerah gunung kidul Yogyakarta. Hal itu ditunjukkan dengan membaiknya indikator utama kesehatan yaitu angka kematian ibu menurun dari 307 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2002-2003 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2007), prevalensi gizi kurang dan gizi buruk juga menurun, dari 25.8% tahun 2005, menjadi 18.4% tahun 2007. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di 33 Propinsi juga menunjukkan peningkatan utilisasi dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Disini kemudian keberadaan posyandu terbukti sangat urgen karena bersentuhan langsung dengan masyarakat bawah yang selama ini kurang tersentuh akses kesehatan.

Secara kelembagaan, peran posyandu juga semakin meningkat, jumlah posyandu yang berhasil diaktifkan kembali sampai dengan tahun 2006 mencapai 42.221 unit diseluruh tanah air. Selain itu jumlah posyandu purnama dan mandiri juga semakin meningkat, meskipun secara ideal jumlah posyandu mandiri masih sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat, akan tetapi meningkatnya jumlah posyandu mandiri di beberapa daerah menjadi satu indikasi keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat terutama bagi ibu dan balita.

Menuju masyakarat sadar kesehatan

Pemerintah, dalam hal ini melalui menteri kesehatan sangat menyadari pentingnya keberadaan posyandu dalam rangka menjadikan masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera. Untuk itulah berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk kembali menggiatkan posyandu di setiap desa atau kelurahan karena untuk membangun kesehatan masyarakat memang dibutuhkan kerja keras dan partisipasi yang tinggi dari berbagai elemen masyarakat mulai dari tingkat pusat hingga di daerah.

Posyandu seharusnya tidak hanya menjadi tempat untuk mengetahui perkembangan berat badan balita tapi lebih dari itu posyandu juga menjadi tempat untuk berkomunikasi dan memonitor perkembangan kesehatan masyarakat. Jika posyandu dapat berfungsi dengan baik bukan tidak mungkin kasus-kasus penyakit, gizi buruk pada bayi, yang muncul dalam masyarakat dapat segera terdeteksi sehingga dengan segera pula dapat ditangani.