Persoalan gizi buruk serta kematian ibu dan atau bayi saat melahirkan adalah salah satu persoalan yang senantiasa kerap menyelimuti bangsa kita. Rendahnya akses terhadapa lembaga kesehatan bagi sebagian besar masyarakat
Salah satu upaya serius pemerintah untuk mengurangi angka kematian bayi dan kasus gizi buruk ini adalah dengan pembentukan apa yang kemudian dikenal dengan POSYANDU (Pos Pelayanan Terpadu). Posyandu ini pertama kali dibentuk oleh pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto pada tahun 1984. Visi dan misi pembentukan Posyandu ini adalah sebagai perwujudan peran serta masyarakat dalam mencapai pelayanan kesehatan yang lebih baik. Namun secara khusus, pembentukan Posyandu bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi, menurunkan angka gizi buruk balita dan anak, serta mempermudah pelayanan KB (keluarga berencana). Dengan demikian, sasaran utama dari kegiatan Posyandu ini adalah masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil dan pedesaan, khususnya kaum perempuan dan anak, dimana akses terhadap lembaga kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit masih sangat minim.
Oleh karena itu, banyak masyarakat yang merasakan manfaat nyata dari kegiatan posyandu ini. Karena melalui kegiatan posyandu ini, banyak masyarakat di daerah terpencil yang sebelumnya tidak bisa mengakses dan menjangkau lembaga kesehatan akhirnya bisa dengan mudah mendapatkan pelayanan kesehatan. Begitu pula bagi perkembangan kesehatan ibu-ibu hamil dan balita akhirnya bisa dimonitor secara berkala oleh petugas-petugas kesehatan yang sudah diberi kewenangan.
Namun seiring berjalannya waktu, kegiatan posyandu yang awalnya begitu aktif digelar di kampung-kampung itu akhirnya juga lapuk dimakan usia. Entah mengapa kegiatan yang begitu kaya manfaat itu akhirnya juga harus mati suri. Namun palig tidak, dugaan sementara yang muncul, bahwa kegiatan posyandu mengalami penurunan karena terpengaruhi oleh situasi politik pasca lengsernya Suharto pada tahun 1998. karena sebagaimana kita ketahui, ketika reformasi bergulir, segala yang berbau orde baru pun ikut dianulir, termasuk di dalamnya posyandu.
Selain facktor huru-hara politik tersebut, nampaknya era otonomi daerah juga menjadi salah satu pemicu penurunan aktifitas posyandu. Sebagaimana kita ketahui bahwa otonomi daerah telah mensaratkan dilakukanya desentralisasi, termasuk di dalamnya desentralisasi dalam bidang pelayanan kesehatan. Sehingga akibatnya, kebijakan pelayanan kesehatan kini sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sedangkan kemampuan dan kesadaran masing-masing pemerintahan daerah terhadap pelayanan kesehatan, termasuk dalam masalah posyandu tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini kemudian berakibat kepada tingkat porsentase di anggaran daerah (APBD) dalam masalah pelayanan kesehatan. Bila suatu daerah menganggarkan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya cukup rendah, bahkan tidak ada klausul posyandu, maka dengan begitu kegitan posyandu di daerah tersebut akan menurun. Namun begitu juga sebaliknya, bila suatu daerah menganggarkan aspek pelayanan kesehatan cukup tinggi ditambah dengan secara tegas menyebutkan program posyandu, maka kegiatan posyandu di daerah tersebut akan meningkat. Namun secara umum, pemerintah-pemerintah daerah nampaknya kurang memberi perhatian yang serius dalam masalah kesehatan ini, sehingga dalam kurun waktu pasca reformasi ini kegiatan posyandu nampak kurang bergairah.
Perlu Kerja Keras
Melihat kecenderungan pemerintah daerah yang kurang mempriorotaskan sektor kesehatan ini, pada tahun 1999 pemerintah lalu kembali berupaya menggalakkan posyandu dengan melakukan revitalisasi posyandu guna mempertahankan keberadaan posyandu. Meskipun revitalisasi posyandu telah dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi masih belum dapat dengan segera mengatasi bubarnya posyandu di daerah-daerah. Akibatnya, angka gizi buruk balita meningkat dimana-mana, penyakit polio juga merebak di beberapa daerah, sehingga pemerintah merasa “kecolongan” karena sebelumnya Indonesia sudah menyandang predikat Negara bebas polio pada zaman presiden Soeharto. Semua itu terjadi tentunya sebagai dampak menurunnya jumlah dan fungsi posyandu karena tidak ada lagi lembaga yang memonitor dan mengontrol kesehatan masyarakat terutama balita.
Fenomena inilah yang kemudian menjadi kegelisahan seorang praktisi kesehatan yang bernama Siti Fadillah Supari. Beliau selama ini memang sudah dikenal sebagai orang yang bekerja keras mendedikasikan hidupnya untuk kesehatan masyarakat
Secara kelembagaan, peran posyandu juga semakin meningkat, jumlah posyandu yang berhasil diaktifkan kembali sampai dengan tahun 2006 mencapai 42.221 unit diseluruh tanah air. Selain itu jumlah posyandu purnama dan mandiri juga semakin meningkat, meskipun secara ideal jumlah posyandu mandiri masih sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat, akan tetapi meningkatnya jumlah posyandu mandiri di beberapa daerah menjadi satu indikasi keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat terutama bagi ibu dan balita.
Menuju masyakarat sadar kesehatan
Pemerintah, dalam hal ini melalui menteri kesehatan sangat menyadari pentingnya keberadaan posyandu dalam rangka menjadikan masyarakat
Posyandu seharusnya tidak hanya menjadi tempat untuk mengetahui perkembangan berat badan balita tapi lebih dari itu posyandu juga menjadi tempat untuk berkomunikasi dan memonitor perkembangan kesehatan masyarakat. Jika posyandu dapat berfungsi dengan baik bukan tidak mungkin kasus-kasus penyakit, gizi buruk pada bayi, yang muncul dalam masyarakat dapat segera terdeteksi sehingga dengan segera pula dapat ditangani.
Duh....belum punya baby, siapa yang mo' diajak ke posyandu ya?????
BalasHapusSikap mental bangsa telah mengalami degradasi sehingga mempengaruhi grafik pencapaian terutama dalam hal kegiatan yg berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat.. perlu langkah untuk reformasi sikap.. bagaimana tuh? sepertinya bangsa ini sedang mngalami kolaps..
BalasHapus